Forgotten Bible and Melted Chocolate

Aku hanyalah seorang yang tua dan bodoh, mencoba mengerti namun gagal menasehatimu. Mungkin kau memang terlalu pintar untuk mendengarkan omonganku. Saat kau menutup pintu untukku, biarlah aku mengira semua ini kesalahanku, karena aku bodoh dan tak pernah mengerti.

Wednesday, January 18, 2006

RASA SAKIT

RASA SAKIT


Kebanyakan dari kita tidak menyukai rasa sakit. Secara alamiah kita menghindar dari rasa sakit. Bila ia ada, kita berusaha untuk menolaknya, menghindarinya, dengan berbagai cara. Bahkan tak jarang kita menganggap rasa sakit itu sebagai musuh, sehingga kita membencinya.
Pernahkah kamu berfikir bahwa sesungguhnya rasa sakit itu adalah bagian dari kita? Rasa sakit itu adalah pengawal setia yang memperingatkan diri kita akan adanya bahaya? Bila ada sesuatu yang merusak dan menyerang tubuh, maka dia ada untuk menyampaikan berita itu. Bayangkanlah jika kamu tidak memiliki rasa sakit. Aku sudah melihat orang-orang yang kehilangan rasa sakit. Mereka tertimpa kerusakan tanpa bisa menyadarinya, apalagi mencegahnya! Kerusakan yang sangat parah!
Memang ada bermacam-macam rasa sakit, ada yang sebatas kulit saja, dan ada yang lebih dalam, jauh lebih dalam. Tetapi pesan yang mereka bawa adalah sama: sesuatu yang tidak beres telah terjadi! Jika kita salah memandang rasa sakit itu, maka tindakan kita terhadapnya pun bisa salah. Banyak yang hanya sekedar ingin menghilangkannya, membuatnya pergi, tanpa mendengarkan dulu pesan yang dibawanya!
Bila kamu merasa sakit hati, apa yang kamu lakukan? Menghindarinya? Mencoba berlari dan melupakannya? Cobalah menangkap pesan dari sang rasa sakit. Pandanglah dia, pengawal setia kita. Perhatikan apa yang ingin dia sampaikan. Jangan menganggapnya sebagai kutukan! Rasa sakit itu adalah diri kita. Terimalah dia sebagai bagian dari diri kita, berilah tempat yang layak untuk tinggal. Sadarilah! Suatu saat kamu akan melihat, yang ada hanyalah rasa. Ya, rasa yang tak bernama apa-apa lagi.

Tuesday, January 17, 2006

MEMANCING

Memikirkan tentang memancing, membuat aku bertanya apakah di dunia ini ada yang dinamakan ketulusan? Jangan-jangan yang ada hanya saling pancing-memancing. Bunga yang mekar dengan bau yang harum dan warna yang indah, benarkah dia hanya mempersembahkan keindahan karena cinta? Apakah bukan karena memancing datangnya serangga yang akan menyampaikan serbuk sarinya ke pelukan kepala putik?

Selalu ada yang mengulurkan sesuatu untuk menarik perhatian yang lain. Di ujung umpan itu selalu ada sebentuk mata kail yang siap menancap dengan kejam, menarik mangsanya ke dalam kebinasaan. Mungkinkah itu di ujung setiap senyum, di ujung setiap kata-kata yang manis, di ujung setiap pandangan yang berharap? Selalu ada yang ingin ditangkap. Selalu ada yang ingin ditawan. Selalu ada yang ingin diraih.

Memang tidak setiap pemancing berhasil mendapatkan apa yang diharapkannya. Bahkan ada yang tertusuk mata kailnya sendiri. Untuk jenis mangsa yang berbeda, perlu umpan yang berbeda. Namun tetap saja kadangkala mangsa yang salah, yang tidak diharapkan, datang memakan umpan itu dengan bodohnya. Barangkali begitulah hidup harus berlangsung: sang pemancing yang satu menjadi mangsa bagi pemancing yang lain. Rantai makanan tersambung. Jaring-jaring makanan terajut. Makanan buat perut, makanan buat hati, makanan buat ego, semua itu apa bedanya? Semua bermuara pada satu hal: keinginan untuk memuaskan diri. Selalu ada keinginan untuk dipuaskan.

Lalu bila kau bertanya kepadaku, aku sendiri memancing apa? Entahlah. Mungkin aku selalu ingin memancing tuhan. Tetapi bisa saja setiap detik sesuatu tiba-tiba mengambil alih umpan itu, sesuatu yang bertanduk dan jahat. Keinginan untuk terpuaskan telah memakan umpanku. Boleh jadi tuhan tidak akan pernah bisa dipancing, Dia kan terlalu tahu untuk bisa terjebak umpan. Mungkin itu pulalah sebabnya kenapa di ujung kailku sering tersangkut sampah-sampah dunia : kesenangan sementara. Lalu aku sibuk memainkannya, atau dipermainkan. Ah, betapa senangnya jika aku yang menjadi ikannya saja, lalu biarlah tuhan yang memancingku.

Kamu, ya, kamu sendiri sedang memancing apa ?

Sunday, January 15, 2006

PIKIRANKU SUATU SIANG

PIKIRANKU SUATU SIANG

Jadi beginikah kiranya engkau berhenti. Selalu hanya ada dua kemungkinan memang: meninggalkan atau ditinggalkan. Tak satu janjipun mungkin ditepati dalam hal ini. Aku mulai tak percaya ada yang bias berjanji seperti itu. Mungkin saja aku telah terbiasa ditinggalkan, meskipun demikian. Ada zat-zat kebal kesedihan yang mengalir dalam pikiranku ketika seseorang atau sesuatu pergi. Bahkan aku mengira ada suatu hukum tekanan yang harus diteruskan: jika kau ditinggalkan seseorang, maka kau harus membalasnya dengan meninggalkan yang lain. Entahlah. Mungkin kamu terbiasa dengan cara seperti itu.
Tetapi tertinggal dengan seribu pertanyaan bukanlah hal yang nyaman. Itu seperti tersesat tengah malam di kota mati. Tak ada rambu-rambu untuk menunjuki jalanmu kearah mana.
Bila kau bertanya apakah aku kehilangan, ya, aku kehilangan. Bila kau bertanya apakah aku baik-baik saja: kenyataannya hidup harus terus berputar. Mungkin satu-satunya cara untuk menikmati hal ini dengan tenang adalah menganggapnya seperti membaca sebuah novel. Ya, novel dengan akhiran terjelek sekalipun. Betapapun aku penasaran dengan kelanjutan ceritanya, semua terserah pada sang pengarang.

GOL BUNUH DIRI

GOL BUNUH DIRI

Saat kau memutuskan untuk melakukan gol bunuh diri, aku merasa sedih. Kamu memiliki sebuah guci yang begitu indah tetapi ingin membantingnya begitu saja. Mungkin saja kamu penasaran apa isinya, tapi kenapa harus melakukannya dengan serampangan. Seolah-olah kamu hanya bisa berpikir satu kali saja dalam hidupmu yang kira-kira masih akan sangat panjang itu.
Bagaimana aku harus memberitahumu, bahwa pengorbanan dan perasaan yang akan dialami harus sepadan. Perasaan tidak mungkin diceritakan, melainkan harus dialami. Karena itu, meskipun aku telah hidup seribu tahun lebih dulu dari kamu, tetap tidak mungkin mengajarkan apa-apa tentang hal itu. Aku putus asa untuk bisa memberitahumu bahwa nerakanya tidak sepadan dengan secuil surga yang akan kau curi.
Ketika aku memberitahumu untuk membawa payung, kamu menolak. Katamu kamu ingin merasakan bagaimana tertimpa hujan. Sebenarnya aku menyuruhmu untuk berteman dengan setan kecil saja, supaya tidak usah berhadapan dengan setan besar. Kamu tetap nekad, setan kecilnya kamu tinggal di taksi katamu. Ya sudah, gumamku dalam hati. Belakangan kamu takut setan besar akan datang.
Biasanya, semua yang berlalu memang tidak akan kembali. Ada luka yang bisa sembuh dan ada yang tidak. Sebuah guci yang hancur berantakan memang tidak bisa diutuhkan lagi, pun dalam waktu. Ada beban yang kamu kira akan terbawa seumur hidup. Bagaimana aku bisa memberitahukan cara membuang hasil belanjaanmu yang berat itu. Kamu sekarang merasa telah berkorban untuk membelinya. Ya sudah, gumamku dalam hati.
Biarpun aku bilang bahwa aku sayang kepadamu seribu kali dan sebaliknya, apakah itu ada artinya. Kau menutup pintu. Aku menunggu di depan jendela dan melihat matahari bulai terbenam. Entahlah, apakah jendela itu akan kubiarkan terbuka sepanjang malam. Menunggu apa ?



Friday, January 13, 2006

PUN TUNG SAY

Kamu bukanlah sebatang rokok.
Mungkin kamu adalah sejenis apel dari surga yang dijajakan oleh setan kepada adam dulu.
Rokok hanya terbakar untuk orang.
Apel surga termakan untuk sebuah peristiwa besar:
Mengirimkan adam dan seluruh anak cucunya ke dunia yang sungguh kacau ini.
Upah dosa adalah maut, bukan?
Tapi dosa bagimu mungkin hanya sejenis gerimis, yang kau harapkan akan reda sebentar lagi.
Aku juga tak membawakanmu payung, atau apapun yang bisa mencegah dari kebasahan.
Maut mungkin juga nggak masalah bagimu. Kita toh tidak pernah tahu apa yang di seberang sana.
Lalu apa yang bisa menghentikan langkahmu?

Aku bukanlah kawan yang pantas.
Mungkin aku hanyalah sejenis angin dari laut yang dihembuskan oleh pagi setelah badai reda.
Aku hanya terdorong dan tersuruk.
Kapal tua terdampar untuk sebuah kebohongan besar:
Menuruti angin dan cuaca tanpa menghitung seberapakah hidup akan terus.
Karena itu aku terlempar, bukan?
Tapi tempat bagiku mungkin hanya sejenis impian: tak kusadari akan musnah sebentar lagi.
Aku tak pernah menyalahkan nasib, atau apapun yang bisa kutuduh telah menipuku.
Hidup ini jelas nggak abadi bagiku. Kita pun hanya akan jadi satu angka di dalam sensus.
Lalu apa yang bisa kuharapkan bagiku ?

Thursday, January 12, 2006

KOSONG

Ya.
Halaman ini aku kosongkan.
Kalau-kalau kamu sudah menemukan jalan pulang.