Forgotten Bible and Melted Chocolate

Aku hanyalah seorang yang tua dan bodoh, mencoba mengerti namun gagal menasehatimu. Mungkin kau memang terlalu pintar untuk mendengarkan omonganku. Saat kau menutup pintu untukku, biarlah aku mengira semua ini kesalahanku, karena aku bodoh dan tak pernah mengerti.

Tuesday, January 17, 2006

MEMANCING

Memikirkan tentang memancing, membuat aku bertanya apakah di dunia ini ada yang dinamakan ketulusan? Jangan-jangan yang ada hanya saling pancing-memancing. Bunga yang mekar dengan bau yang harum dan warna yang indah, benarkah dia hanya mempersembahkan keindahan karena cinta? Apakah bukan karena memancing datangnya serangga yang akan menyampaikan serbuk sarinya ke pelukan kepala putik?

Selalu ada yang mengulurkan sesuatu untuk menarik perhatian yang lain. Di ujung umpan itu selalu ada sebentuk mata kail yang siap menancap dengan kejam, menarik mangsanya ke dalam kebinasaan. Mungkinkah itu di ujung setiap senyum, di ujung setiap kata-kata yang manis, di ujung setiap pandangan yang berharap? Selalu ada yang ingin ditangkap. Selalu ada yang ingin ditawan. Selalu ada yang ingin diraih.

Memang tidak setiap pemancing berhasil mendapatkan apa yang diharapkannya. Bahkan ada yang tertusuk mata kailnya sendiri. Untuk jenis mangsa yang berbeda, perlu umpan yang berbeda. Namun tetap saja kadangkala mangsa yang salah, yang tidak diharapkan, datang memakan umpan itu dengan bodohnya. Barangkali begitulah hidup harus berlangsung: sang pemancing yang satu menjadi mangsa bagi pemancing yang lain. Rantai makanan tersambung. Jaring-jaring makanan terajut. Makanan buat perut, makanan buat hati, makanan buat ego, semua itu apa bedanya? Semua bermuara pada satu hal: keinginan untuk memuaskan diri. Selalu ada keinginan untuk dipuaskan.

Lalu bila kau bertanya kepadaku, aku sendiri memancing apa? Entahlah. Mungkin aku selalu ingin memancing tuhan. Tetapi bisa saja setiap detik sesuatu tiba-tiba mengambil alih umpan itu, sesuatu yang bertanduk dan jahat. Keinginan untuk terpuaskan telah memakan umpanku. Boleh jadi tuhan tidak akan pernah bisa dipancing, Dia kan terlalu tahu untuk bisa terjebak umpan. Mungkin itu pulalah sebabnya kenapa di ujung kailku sering tersangkut sampah-sampah dunia : kesenangan sementara. Lalu aku sibuk memainkannya, atau dipermainkan. Ah, betapa senangnya jika aku yang menjadi ikannya saja, lalu biarlah tuhan yang memancingku.

Kamu, ya, kamu sendiri sedang memancing apa ?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home